Di tengah dinamika politik dan kekuasaan yang melanda Sumatera Utara pada masa lampau, sebuah kerajaan kecil namun memiliki jejak sejarah yang menarik muncul di dalam lingkup Kesultanan Serdang. Kerajaan tersebut bernama Ramunia, yang lahir dari inisiatif seorang putra mahkota yang memiliki visi tersendiri dalam mengelola wilayah kekuasaannya.
Tuanku Tunggal, putra ketiga dari Raja Serdang II, Tuanku Ainan Johan Alamshah, tercatat sebagai raja pertama yang memimpin Kerajaan Ramunia. Kelahirannya sebagai sebuah entitas politik terpisah tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan konsekuensi dari perubahan konstelasi kekuasaan dan pengaruh di wilayah tersebut.
Berdirinya Kerajaan Ramunia terjadi setelah Kerajaan Serdang melakukan penggabungan dengan Kerajaan Perbaungan. Pada masa awal pembentukannya, wilayah kekuasaan Ramunia meliputi sebagian wilayah Kecamatan Beringin dan sebagian Kecamatan Pantai Labu, yang keduanya berada di dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara saat ini.
Pada periode waktu antara tahun 1767 hingga 1817, pusat pemerintahan Kesultanan Serdang berkedudukan di Kampung Besar, yang kini dikenal sebagai Desa Mesjid di Kecamatan Batang Kuis. Pada masa inilah, pengaruh dari Kerajaan Siak Indra Pura mulai merasuki wilayah Serdang dan Perbaungan.
Masuknya pengaruh Siak merupakan hasil dari penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan tersebut terhadap pesisir pantai utara pada tahun 1766. Penaklukan ini berhasil menundukkan Kerajaan Perbaungan dan Kerajaan Serdang, bahkan mengakibatkan meninggalnya raja dari kedua kerajaan tersebut pada saat itu.
Raja Perbaungan saat itu adalah Tengku Abdullah Jasa, yang juga dikenal dengan gelar Panglima Abdul Jalil Rahmatsyah, merupakan raja pertama di kerajaannya. Sementara itu, Raja Serdang yang berkuasa saat penaklukan Siak adalah Tuanku Umar Johan Alamsyah, yang juga merupakan raja pertama di Kesultanan Serdang.
Sebelum bergabung, Kerajaan Serdang dan Kerajaan Perbaungan memiliki orientasi politik yang berbeda. Kerajaan Serdang cenderung memiliki hubungan yang kuat dengan Kesultanan Aceh, sementara Kerajaan Perbaungan lebih dekat dengan Kesultanan Pagaruyung di Minangkabau. Perbedaan orientasi ini tercermin dalam bahasa dan gelar kebangsawanan yang digunakan oleh masyarakat di sekitar Perbaungan, yang memilikiLogat Melayu dengan sentuhan Minangkabau serta gelar seperti Angku, Sutan, dan Wan.
Meskipun memiliki perbedaan orientasi, kedua kerajaan yang dipisahkan oleh Sungai Ular ini menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan. Putra Mahkota Kerajaan Serdang, Tuanku Ainan Johan, menikah dengan Putri Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan.
Pasca penaklukan oleh Siak, pernikahan antara Tuanku Ainan Johan dan Putri Sri Alam menjadi salah satu faktor yang mendorong penggabungan kedua kerajaan. Selain itu, Kerajaan Perbaungan juga tidak memiliki pewaris tahta laki-laki, sehingga perkawinan ini menjadi solusi untuk menjaga stabilitas kekuasaan.
Dalam masa pengaruh Siak, adik kandung Tuanku Ainan Johan Alamshah, yang bernama Tuanku Sabjana (Pangeran Kelambir), diangkat menjadi Raja Muda Kerajaan Serdang. Ia diberikan wilayah kekuasaan di Kelambir dan Sei Tuan, yang saat ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Pantai Labu.
Namun, tekanan yang terus menerus datang dari Kerajaan Siak dianggap sangat merugikan bagi Kerajaan Serdang oleh Tuanku Ainan Johan Alamshah. Hal ini mendorongnya untuk merencanakan pelepasan diri dari pengaruh Siak dan membentuk kesultanan sendiri yang berdaulat.
Keinginan untuk melepaskan diri dari Siak semakin kuat setelah Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah menarik diri dari pemerintahan Kerajaan Serdang. Penarikan diri ini disebabkan oleh dominasi Siak yang menggantikan pengaruh Kesultanan Aceh yang sebelumnya kuat di Serdang.
Sebagai langkah strategis untuk mewujudkan kemerdekaan Serdang, Tuanku Ainan Johan membentuk sebuah dewan yang terdiri dari empat orang besar. Keempat tokoh ini terdiri dari dua orang bergelar Datuk dan dua orang bergelar Pangeran. Mereka diberi wilayah kekuasaan masing-masing dan ditugaskan untuk memilih serta mengangkat Sultan Serdang di masa depan.
Keempat orang besar tersebut adalah Sri Maharaja, yang juga dikenal sebagai Tuanku Tunggal (Raja Ramunia), yang menguasai wilayah Kecamatan Beringin dan sebagian Kecamatan Pantai Labu.
Kemudian, Raja Muda Tuanku Sabjana (Pangeran Kelambir) yang memerintah wilayah Kelambir dan Sei Tuan di Kecamatan Pantai Labu. Dua tokoh lainnya adalah Datuk Maha Menteri yang berkuasa di Araskabu dan Datuk Paduka Raja yang wilayahnya berada di Batang Kuis, yang merupakan keturunan dari Kejeruan Lumu.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan dinamika politik, wilayah kekuasaan Sri Maharaja (Ramunia) dan Raja Muda Tuanku Sabjana mengalami perubahan.
Pada awalnya, Raja Muda Sabjana memiliki wilayah di Kelambir dan Sei Tuan pada masa pemerintahan Tuanku Ainan Johan. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamshah, wilayah Sei Tuan dan Kelambir kemudian masuk ke dalam wilayah Kerajaan Ramunia karena suatu hal yang tidak dijelaskan secara rinci dalam catatan sejarah.
Kisah berdirinya Kerajaan Ramunia di dalam Kesultanan Serdang ini menjadi catatan penting dalam sejarah Sumatera Utara. Hal ini menggambarkan bagaimana dinamika kekuasaan, perkawinan politik, dan keinginan untuk berdaulat dapat melahirkan entitas-entitas politik baru dalam lanskap sejarah suatu wilayah. Meskipun relatif kecil, Kerajaan Ramunia memiliki tempat tersendiri dalam narasi sejarah Melayu di Sumatera Utara.
No comments:
Post a Comment