Tragedi kelam membekas dalam lipatan sejarah Toba, sebuah luka menganga yang sayangnya terbungkam oleh hegemoni narasi penjajah. Pada bulan Juli dan Agustus tahun 1883, kesadisan pasukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (PKHB) mencapai puncaknya. Mereka tanpa ampun membakar rata dengan tanah setidaknya 21 desa yang terletak di jantung kawasan Toba. Desa-desa ini, yang menjadi hunian bagi masyarakat Batak yang dituduh memberikan dukungan kepada pahlawan perlawanan, Si Singamangaraja XII (SSM XII), menjadi saksi bisu kebiadaban kolonial.
Api kekejaman berkobar sebagai respons atas pembangkangan sejumlah kampung di wilayah Laguboti dan Sigumpar. Mereka dengan tegas menolak menyerahkan individu-individu yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan seorang staf Kontroler dan sejumlah pekerja paksa yang berada di bawah kendali PKHB. Tak hanya itu, penolakan juga digaungkan terhadap pembayaran denda yang dipaksakan sebagai tebusan atas penyerahan para terduga pelaku.
Keteguhan hati masyarakat Toba ini berujung pada ultimatum yang dikeluarkan oleh Residen Tapanuli. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan berlalu, permintaan PKHB tak kunjung dipenuhi. Kesabaran penjajah pun mencapai titik nadir. Pada tanggal 29 Juli 1883, pasukan PKHB melancarkan serangan brutal terhadap tujuh kampung di Laguboti. Di antara kampung-kampung tersebut, Saon Angin dikenal memiliki pertahanan yang paling kuat. Namun, kegigihan pejuang Toba tak mampu membendung kekuatan militer kolonial yang lebih unggul. Akhirnya, ketujuh kampung tersebut berhasil ditaklukkan dan dibumihanguskan.
Setelah aksi pembakaran yang mengerikan di Laguboti, PKHB menunjukkan watak aslinya yang haus kekuasaan dan penindasan. Mereka secara sepihak menaikkan denda menjadi dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Taktik intimidasi ini berhasil meluluhkan sebagian besar kampung lainnya, yang akhirnya memilih untuk membayar denda yang dipaksakan. Namun, di tengah keputusasaan, masih tersisa satu kampung yang teguh mempertahankan harga diri. Kepala kampung tersebut memilih untuk melarikan diri daripada tunduk pada kesewenang-wenangan penjajah. Akibatnya, kampung yang berani melawan ini pun ikut menjadi korban keganasan PKHB, menambah jumlah kampung yang dibakar di Laguboti menjadi delapan.
Di Sigumpar, tekanan dan teror yang sama juga diterapkan. Namun, berbeda dengan Laguboti, kepala kampung di Sigumpar akhirnya memilih jalan yang lebih pragmatis dengan membayar denda yang ditetapkan. Setelah pembantaian dan pemerasan di Laguboti, PKHB memperluas targetnya. Mereka menjatuhkan denda kepada kampung-kampung lain yang warganya dicurigai sebagai pendukung setia SSM XII.
Ironisnya, denda yang terkumpul ini juga dialokasikan untuk kompensasi kepada para misionaris dan beberapa kampung Kristen yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat konflik dengan pasukan SSM XII.
Gelombang kekerasan PKHB kembali mencapai puncaknya pada tanggal 12 dan 13 Agustus 1883. Kali ini, Bakkara menjadi sasaran keganasan kolonial. Sebanyak 13 kampung di wilayah ini dibakar habis hanya karena penolakan mereka untuk membayar denda atas sikap yang dianggap mendukung perjuangan SSM XII.
Setelah pembantaian yang mengerikan ini, kampung-kampung lain di Bakkara akhirnya menyerah dan bersedia membayar denda yang dipaksakan. Bahkan, denda bagi kampung-kampung yang membayar setelah tanggal 13 Agustus 1883 ditetapkan sebesar ƒ1000, sebuah angka yang fantastis pada masa itu.
Sebuah fakta yang mencengangkan adalah keterlibatan beberapa misionaris dalam barisan pasukan PKHB. Menurut pengakuan para misionaris tersebut, kehadiran mereka bertujuan untuk meyakinkan warga kampung-kampung pendukung SSM XII agar tidak melakukan perlawanan terhadap pasukan PKHB, dengan harapan kampung mereka tidak akan dibumihanguskan. Namun, narasi ini terasa janggal bagi siapa pun yang memahami dinamika Perang SSM XII.
Sangat tidak mungkin pasukan PKHB mengirim para misionaris terlebih dahulu ke kampung-kampung yang jelas-jelas menolak membayar denda. Lebih tidak masuk akal lagi jika para misionaris tersebut berani mendatangi kampung-kampung pendukung SSM XII setelah menyaksikan sendiri pembakaran delapan kampung di Laguboti.
Ironisnya, hingga tanggal 17 Agustus 1945, tidak ditemukan satu pun catatan atau tulisan dari penulis Batak yang secara eksplisit mendokumentasikan peristiwa pembakaran kampung-kampung di Toba oleh pasukan PKHB. Fenomena inilah yang kemudian disebut oleh penulis sebagai "lupa kolektif." Jika kelupaan kolektif ini juga mencakup peristiwa-peristiwa sebelum tahun 1883, mungkin dapat dipahami. Namun, sebuah anomali muncul pada tahun 1920 dengan terbitnya buku berjudul "Barita Ni Bondjol, Na Ginoar Ni Halak Hoehoet : Porang I Ni Toeankoe Raoe. Si Pongki Na Ngolngolan," yang ditulis oleh Guru Kenan Hoetagaloeng.
Buku ini justru menceritakan tentang kedatangan Tuanku Rao dan pasukannya untuk membalas dendam kepada Singamangaraja. Menurut narasi dalam buku tersebut, kepala Singamangaraja dipenggal oleh Tuanku Rao di Butar, Tanah Toba. Sebuah klaim yang kontroversial dan bertentangan dengan catatan sejarah yang ada. Lebih lanjut, buku ini mengklaim bahwa kedatangan Tuanku Rao ke Toba bukanlah untuk menyebarkan agama Islam, melainkan semata-mata untuk membalaskan dendam. Sebuah kisah yang lebih menyerupai dongeng dan kemungkinan besar dipengaruhi oleh narasi lain, yaitu pembantaian orang-orang Batak oleh pasukan Padri.
Kejanggalan semakin terasa ketika Kenan Hutagalung bahkan berani memperkirakan tahun terjadinya peristiwa pemenggalan kepala Singamangaraja, yaitu tahun 1823.
Masih menurut penulis yang sama, pada tahun 1827 pasukan Padri kembali ke Tanah Toba untuk menyebarkan agama Islam, dengan anggota pasukan yang terdiri dari orang-orang Angkola dan Mandailing. Namun, berbeda dengan narasi populer tentang pembantaian orang Batak oleh Padri yang diyakini oleh banyak orang Batak saat ini, buku Kenan Hutagalung justru menyatakan bahwa pasukan Padri berhasil dipukul mundur oleh orang-orang Toba.
Meskipun menyebutkan tahun kejadian penyerangan pasukan Padri ke Toba, sesuatu yang tidak pernah dapat dipastikan oleh para penulis Belanda, buku Kenan ini sekilas tampak meyakinkan.
Namun, cerita tentang Tuanku Rao dan pasukan Padri dalam buku Kenan ini secara tidak langsung dikoreksi oleh pernyataan M. Joustra dalam bukunya "Batakspiegel." Joustra menyatakan bahwa pasukan Padri baru menginvasi Mandailing pada tahun 1830. Lebih menarik lagi, Joustra juga mengungkapkan bahwa cerita tentang Tuanku Rao menyerang Toba pertama kali ditulis oleh H.N. van der Tuuk puluhan tahun sebelum Kenan menulis bukunya. Namun, dalam kisah van der Tuuk, tokoh yang menyerang Toba disebut sebagai Si Pokki, yang kemudian diidentifikasi sebagai Tuanku Rao.
Dongeng tentang pembantaian orang Batak oleh Padri sendiri berasal dari seorang Jerman bernama Franz Junghuhn. Dalam bukunya yang berjudul "Die Battaländer aufSumatra," Junghuhn mengklaim bahwa sebanyak 233.000 orang Batak tewas dibunuh oleh pasukan Padri. Angka fantastis ini didapatkan Junghuhn hanya berdasarkan asumsi yang dibuatnya pada tahun 1840, saat ia berkunjung ke Angkola. Junghuhn tiba di Sumatra saat Perang Padri telah usai, yang berarti ia bukanlah saksi mata dari peristiwa tersebut.
Menurutnya, terdapat area seluas 1635 menit geografis yang dulunya dihuni manusia, hanya karena lahan tersebut saat ia lihat telah ditumbuhi ilalang. Tanpa menyebutkan sumber data yang jelas, ia juga menyatakan bahwa pada tahun 1840 rata-rata penduduk di "Battaländer" Selatan untuk setiap menit geografis adalah 137 orang. Berdasarkan asumsi ini, ia menyimpulkan bahwa area seluas 1635 menit tersebut awalnya dihuni oleh 233.000 orang, yang kemudian semuanya tewas dibunuh oleh pasukan Padri.
Sebuah asumsi yang berdiri sendiri tanpa didukung bukti konkret. Junghuhn tidak pernah menyebutkan kapan tepatnya pembantaian itu terjadi, jenis senjata yang digunakan pasukan Padri, maupun jumlah pasukan Padri yang menyerang. Anehnya, Junghuhn juga tidak pernah melakukan pencarian kuburan massal untuk korban jiwa sebanyak itu. Jika benar jumlah korban jiwa mencapai angka tersebut, tentu setidaknya satu lokasi kuburan massal pasti pernah ditemukan.
Meskipun hanya berupa asumsi yang tidak berdasar, pernyataan Junghuhn tentang pembantaian ini beberapa kali dikutip oleh para penulis Belanda. Namun, ironisnya, mereka sendiri tidak pernah menggunakan angka ajaib korban pasukan Padri versi Junghuhn. Oleh karena itu, dalam buku-buku tentang Perang Padri, para penulis Belanda tidak pernah menyebutkan jumlah korban pasukan Padri di Angkola.
Meskipun demikian, tetap ada kemungkinan bahwa sebelum 17 Agustus 1945 sudah pernah ada orang Batak yang menulis tentang pembakaran kampung-kampung di Toba oleh pasukan PKHB. Namun, tulisan tersebut kemungkinan besar tidak pernah dipublikasikan oleh pihak Belanda karena hanya akan membuka aib Ludwig Ingwer Nommensen dan beberapa misionaris lainnya.
Nommensen adalah sosok yang memiliki peran besar dalam memuluskan jalan bagi kehadiran PKHB di Toba. Jika di Minangkabau dan Mandailing PKHB hadir atas permintaan kerjasama dari penguasa wilayah atau kaum pribumi di kedua daerah tersebut, maka PKHB hadir di Toba atas permintaan seorang pendatang dari Jerman yang berprofesi sebagai misionaris. Dengan demikian, kemungkinan besar PKHB memiliki andil dalam fenomena lupa kolektif ini.
Membahas fenomena lupa kolektif ini membuka kesamaan yang mencolok antara Kenan Hutagalung dan Waldemar Hutagalung. Keduanya menulis sesuatu yang puluhan tahun sebelumnya telah ditulis oleh orang-orang Belanda. Apa yang ditulis oleh Kenan telah lebih dulu ditulis oleh Herman Neubronner van der Tuuk pada tahun 1861, sedangkan tulisan Waldemar tentang silsilah marga keturunan Raja Batak telah lebih dulu ditulis oleh P.A.L.E. van Dijk pada tahun 1894. Sebelum orang-orang Belanda menulis apa yang kemudian ditulis ulang dan ditambahi oleh kedua penulis Batak ini, kedua cerita tersebut tidak pernah ditemukan dalam manuskrip Batak mana pun. Fenomena ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk mengaburkan kebenaran sejarah dan menutupi kejahatan kolonial di Tanah Batak.
Lupa Kolektif Terhadap Peristiwa Pembakaran Kampung-kampung di Toba oleh Pasukan Penjajah Belanda
Oleh Iskandar Lubis
Pada bulan Juli dan Agustus 1883 pasukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (PKHB) setidaknya telah membakar habis 21 desa di kawasan Toba, yang menjadi tempat bermukim orang-orang Batak yang (dianggap) menjadi pendukung Si Singamangaraja XII (SSM XII).
Bermula dari penolakan kampung-kampung di Laguboti dan Sigumpar untuk menyerahkan para pembunuh seorang staf Kontroler dan sejumlah pekerja paksa milik PKHB. Kampung-kampung ini juga menolak membayar denda sebagai ganti penyerahan para pembunuh tersebut. Sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh Residen Tapanuli, kampung-kampung ini tidak juga menuruti permintaan PKHB. Oleh karenanya pada tanggal 29 Juli 1883, pasukan PKHB menyerang 7 (tujuh) kampung di Laguboti. Kampung dengan pertahanan terkuat adalah Kampung Saon Angin. Pada akhirnya pasukan PKHB dapat menaklukan dan membakar habis ke-7 kampung tersebut. Setelah pembakaran ke-7 kampung tersebut, PKHB menaikkan denda menjadi 2 kali lipat dari sebelumnya. Kampung-kampung lain akhirnya mau membayar denda tersebut.
Hanya ada satu kampung yang menolak dan kepala kampungnya melarikan diri. Satu kampung ini pun dibakar habis oleh pasukan PKHB. Sehingga ada 8 (delapan) kampung yang diibakar habis oleh pasukan PKHB di Laguboti. Kepala kampung di Sigumpar juga akhirnya mau membayar denda. Setelah peristiwa pembakaran ke-8 kampung di Laguboti ini, PKHB juga memberikan denda kepada kampung-kampung lain yang warganya dianggap sebagai pendukung SSM XII.
Dimana denda ini juga akan digunakan untuk kompensasi kepada para misionaris dan beberapa kampung Kristen yang telah dirusak oleh pasukan SSM XII. Pada tanggal 12 (duabelas) dan 13 (tigabelas) Agustus 1883 pasukan PKHB membakar habis 13 (tigabelas) kampung di Bakkara, hanya karena menolak membayar denda atas sikap mereka yang mendukung SSM XII. Kampung-kampung selain ke-13 kampung yang dibakar tersebut akhirnya bersedia membayar denda #1#.
Sebelum pembakaran tanggal 12 dan 13 Agustus 1883, para kepala kampung Paranginan, Nagasaribu, dan Muara sudah membayar denda yang dikenakan kepada kampung mereka. Karena tak ingin kampung mereka juga dibakar habis oleh pasukan PKHB, akhirnya kampung-kampung lainnya bersedia membayar denda yang ditetapkan oleh PKHB. Denda terhadap kampung-kampung lainnya di Bakkara yang membayar setelah 13 Agustus 1883 adalah ƒ1000 #2#.
Beberapa misionaris turut serta dalam pasukan PKHB ini. Menurut para misionaris ini, mereka ikut untuk meyakinkan warga kampung-kampung pendukung SSM XII agar tidak melawan pasukan PKHB, sehingga kampung mereka tak dibakar habis #3#. Siapapun yang mempelajari sejarah Perang SSM XII, pasti akan langsung tahu bahwa tidak mungkin pasukan PKHB mengirim para misionaris terlebih dahulu ke kampung-kampung yang menolak membayar denda tersebut. Tidak mungkin juga para misionaris tersebut berani mendatangi kampung-kampung pendukung SSM XII setelah pembakaran 8 kampung di Laguboti.
Sependek pengetahuan saya, sampai dengan 17 Agustus 1945 tidak satu pun penulis Batak yang menulis tentang peristiwa pembakaran kampung-kampung orang Toba oleh pasukan PKHB. Oleh karenanya fenomena ini saya sebut sebagai “lupa kolektif”. Bila lupa kolektif ini juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa sebelum tahun 1883 tersebut, maka lupa kolektif tersebut dapat dimaklumi. Namun ternyata pada tahun 1920 terbit buku berjudul Barita Ni Bondjol, Na Ginoar Ni Halak Hoehoet : Porang I Ni Toeankoe Raoe. Si Pongki Na Ngolngolan, yang ditulis oleh Guru Kenan Hoetagaloeng.
Buku ini bercerita tentang kedatangan Tuanku Rao dan pasukannya untuk membalaskan dendamnya kepada Singamangaraja. Kepala Singamangaraja dipenggal oleh Tuanku Rao di Butar, Tanah Toba. Jadi kedatangan Tuanku Rao ke Toba tidak untuk menyebarkan Islam, tetapi hanya untuk membalaskan dendamnya #4#. Sebuah kisah berbau dongeng yang kemungkinan terpengaruh dongeng lainnya, yaitu pembantaian orang-orang Batak oleh pasukan Padri.
Kenan Hutagalung bahkan bisa memperkirakan tahun terjadinya peristiwa pemenggalan kepala Singamangaraja tersebut, yaitu tahun 1823. Masih menurut beliau, pada tahun 1827 pasukan Padri kembali ke Tanah Toba untuk menyebarkan agama Islam, dimana pasukan ini terdiri orang-orang Angkola dan Mandailing. Tetapi berbeda dengan dongeng Batak dibantai Padri yang saat ini dipercaya oleh banyak orang Batak, dalam buku Kenan Hutagalung tersebut dikatakan bahwa pasukan Padri dapat dipukul mundur oleh orang-orang Toba #5#.
Karena menyebutkan tahun kejadian penyerangan pasukan Padri ke Toba, suatu hal yang tak pernah bisa dipastikan oleh para penulis Belanda, sepintas buku Kenan tersebut nampak meyakinkan. Namun cerita tentang Tuanku Rao dan pasukan Padri dalam buku Kenan ini terkoreksi dengan sendirinya oleh pernyataan M. Joustra yang dalam bukunya Batakspiegel menyatakan bahwa pasukan Padri menginvasi Mandailing baru pada tahun 1830. Yang menarik Joustra juga menyatakan bahwa cerita tentang Tuanku Rao menyerang Toba pertama kali ditulis oleh H.N. van der Tuuk #6#, puluhan tahun sebelum Kenan menulis bukunya tersebut.
Namun dalam kisah van der Tuuk, tokoh yang menyerang Toba disebut sebagai Si Pokki. Si Pokki inilah yang dianggap sebagai Tuanku Rao.
Dongeng Batak dibantai Padri sendiri berasal dari seorang Jerman bernama Franz Junghuhn. Dalam bukunya yang berjudul Die Battaländer aufSumatra, Junghuhn menyatakan ada sebanyak 233.000 orang Batak mati dibunuh oleh pasukan Padri. Junghuhn mendapatkan angka 233.000 hanya berdasarkan asumsi yang dibuatnya pada tahun 1840, saat ia berkunjung ke Angkola. Junghuhn tiba di Sumatra saat Perang Padri sudah selesai.
Artinya dia bukan saksi mata Perang Padri. Menurutnya ada area seluas 1635 menit (Junghuhn menggunakan satuan menit geografi dalam penentuan luas) bekas ditinggali oleh manusia, hanya karena lahan tersebut saat dilihatnya sudah ditumbuhi oleh ilalang. Entah sumber data apa yang dipakainya, ia juga menyatakan bahwa pada tahun 1840 rerata penduduk di “Battaländer” Selatan untuk setiap menit geografi adalah 137 orang. Oleh karenanya ia berasumsi bahwa pada area seluas 1635 menit seperti tersebut di atas awalnya dihuni oleh 233.000 orang, yang kemudian semuanya mati dibunuh oleh pasukan Padri #7#.
Asumsi yang benar-benar berdiri sendiri, karena Junghuhn tidak menyebutkan kapan tepatnya pembantaian tersebut terjadi, senjata apa yang digunakan oleh pasukan Padri, dan berapa besar pasukan Padri yang datang menyerang. Ajaibnya, Junghuhn tak pernah melakukan pencarian kuburan massal untuk korban jiwa sebesar itu. Jika benar jumlah korban jiwa sebesar itu, tentu setidaknya pernah ditemukan satu lokasi kuburan massal.
Anehnya, walau hanya berupa asumsi yang berdiri sendiri, pernyataan Junghuhn tentang pembantaian ini beberapa kali dikutip oleh para penulis Belanda. Walaupun mereka sendiri tak pernah mau memakai angka ajaib korban pasukan Padri versi Junghuhn. Oleh karenanya dalam buku-buku tentang Perang Padri, para penulis Belanda tak pernah menyebutkan jumlah korban pasukan Padri di Angkola.
Tetap ada kemungkinan bahwa sebelum 17 Agustus 1945 sudah pernah ada orang Batak yang menulis tentang pembakaran kampung-kampung di Toba, tetapi tulisan tersebut tidak pernah dipublikasikan oleh orang-orang Belanda, karena hanya akan membuka borok dari Ludwig Ingwer Nommensen beserta beberapa misionaris lainnya. Nommensen merupakan orang yang paling berjasa atas kehadiran PKHB di Toba. Jika di Minangkabau dan Mandailing PKHB hadir karena ada permintaan kerjasama dari penguasa wilayah atau kaum pribumi kedua daerah tersebut, maka PKHB hadir di Toba karena permintaan seorang pendatang dari Jerman yang bekerja sebagai misionaris #8#. Jadi kemungkinan ada peran PKHB dalam lupa kolektif ini.
Membahas lupa kolektif ini menguak kesamaan antara Kenan Hutagalung dengan Waldemar Hutagalung. Kenan dan Waldemar menulis sesuatu yang puluhan tahun sebelumnya telah ditulis oleh oleh orang-orang Belanda. Apa yang ditulis oleh Kenan telah pernah ditulis oleh Herman Neubronner van der Tuuk tahun 1861, sedangkan tulisan Waldemar tentang silsilah marga keturunan Raja Batak telah pernah ditulis oleh P.A.L.E. van Dijk tahun 1894. Sebelum orang-orang Belanda menulis apa yang kemudian ditulis ulang dan ditambahi oleh kedua orang Batak ini, kedua cerita tersebut tak pernah dijumpai dalam manuskrip Batak manapun.
Referensi
1. Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap uitgegeven door Bestuurders van Voornoemd Genootschap, Rotterdam, M. Wyt & Zonen, 1885, halaman 174-175.
2. De Rijnsche Zending Tijdschrift, onder redactie van J.P.G. Westhoff en P. van Wijk Jr., Amsterdam, Hoveker & Zoon, 1884, halaman 54.
3. Het werk der Rijnsche Zending in Nederlandsch Oost-Indie, naar het Hoogduitsch van Dr. A. Schreiber door C.L. met een woord vooraf van J.P.G. Westhoff, Amsterdam, N.V. Boekhandel, 1897, halaman 36.
4. Barita Ni Bondjol Na Ginoar ; Ni Halak Hoehoet ; Porang I Ni Toeankoe Raoe ; Si Pongki Na Ngolngolan, Sinoerathon Bi Gr. Kenan Hoetagaloeng, Rongkoman Ni Louis H. Becherer, Leiden, 1920, halaman 31-33.
5. Barita Ni Bondjol Na Ginoar ; Ni Halak Hoehoet ; Porang I Ni Toeankoe Raoe ; Si Pongki Na Ngolngolan, Sinoerathon Bi Gr. Kenan Hoetagaloeng, Rongkoman Ni Louis H. Becherer, Leiden, 1920, halaman 42-45.
6. Batakspiegel door M. Joustra, tweede, vermeerderde druk, Leiden, S.C. van Doesburgh, 1926, halaman 26-30.
7. Die Battaländer aufSumatra, Im Aufträge Sr. Excellenz des General- Gouverneurs von Nicderländischlndien Hrn. P. Merkus in den Jahren 1840 und 1841 untersucht und beschriehen von Franz Junghuhn. Zweiter Theil, Völkerkunde. Berlin, Druck und Verlag von G. Reimer, 1847, halaman 292.
8. Utusan Damai di Kemelut Perang : Peran Zending dalam Perang Toba oleh Uli Kozok, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, halaman 4.
No comments:
Post a Comment