Di sudut barat Sumatra, dari tanah yang harum dengan sejarah panjang dan darah syuhada, Kesultanan Aceh pernah berdiri tegak sebagai benteng terakhir keadilan di Asia Tenggara. Di masa-masa ketika dunia diguncang oleh Perjanjian Tordesillas, Aceh tampil bukan hanya sebagai kerajaan muslim, tetapi sebagai suara nurani Timur yang menentang kerakusan Barat yang dibaptis dalam nama Paus. Bukan sekadar cerita kebesaran masa lalu, ini adalah kisah langka tentang keberanian moral, diplomasi suci, dan langkah berani melawan penindasan global.
Perjanjian Tordesillas, yang diteken pada 1494 oleh dua kekuatan Katolik — Spanyol dan Portugis — dengan restu Paus Alexander VI, membelah dunia menjadi dua poros dominasi kolonial. Segala tanah di sebelah barat diberikan kepada Spanyol, sementara di timur menjadi milik Portugis. Dunia menjadi semacam catur besar, dan umat manusia yang belum mengenal Kristiani dijadikan pion untuk diperbudak atau 'diluruskan:. Dalam bayang-bayang peta yang ditorehkan dengan tinta Vatikan itu, Indonesia adalah jarahan yang sah.
Namun, Aceh tidak tinggal diam. Ketika Belanda bangkit melawan penjajahan Spanyol, yang tentu saja didukung penuh oleh Paus dan Gereja Roma, Kesultanan Aceh tampil menjadi satu-satunya kekuatan dari Timur yang dengan lantang menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Belanda. Ini bukan sekadar soal perdagangan atau aliansi strategis. Ini adalah pernyataan iman dan keberpihakan terhadap kebebasan. Slogan Belanda saat itu, Liever Turks dan Paaps—lebih baik Turki daripada Paus—disambut hangat di pelabuhan Aceh.
Tahun 1600 menjadi momen krusial. Dari Den Haag, Pangeran Maurice de Nassau mengirim surat penuh harap dan penghormatan kepada Sultan Aceh, Alaidin Riayat Syah Saidil Mukammil. Dalam suratnya, Maurice menyatakan kerinduannya akan persahabatan sejati dan menyampaikan doanya agar Sultan diberkahi Tuhan dan diberi kejayaan. Bingkisan dan utusan pun dikirim, terdiri dari empat kapal dan sembilan perwakilan diplomatik. Maurice tahu, satu-satunya jalan melawan dominasi Katolik adalah dengan menjalin tangan dengan dunia Islam.
Surat Maurice diterima dengan hormat oleh Sultan Aceh, dan dalam sidang Dewan Kerajaan, diputuskan bahwa Republik Belanda diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat. Ini bukan keputusan ringan. Aceh sedang menantang bukan hanya Portugis, tetapi juga tatanan dunia yang dikendalikan Paus. Dalam terang iman dan kehormatan, Aceh mengirimkan delegasi diplomatik yang dipimpin oleh Tengku Abdul Hamid, ulama besar dan negarawan terkemuka, bersama Laksamana Sri Muhammad dan diplomat Mir Hasan. Mereka tidak membawa pedang, tapi membawa kehormatan dan mimpi akan dunia yang lebih adil.
Di bawah bendera Kesultanan, Aceh membuka pelabuhannya bagi kapal-kapal Belanda dan menutup akses bagi Portugis yang mengatasnamakan iman tapi menyebarkan penjajahan. Ini adalah tindakan yang secara tidak langsung menantang otoritas Paus, yang kala itu mengklaim hak ilahi atas semua bangsa non-Kristen. Tapi Aceh punya prinsip: tak ada kekuasaan atas manusia kecuali oleh Tuhan yang satu, dan tak ada penaklukan yang sah atas tanah yang telah lama dihuni oleh bangsa yang merdeka.
Ketegangan ini bukan sekadar politik. Ia adalah gema dari konflik peradaban. Ketika Paus mengirimkan misionaris 3G dan kapal perang, Aceh mengirim doa dan kapal dagang. Ketika bangsa-bangsa dijadikan budak dalam nama agama, Aceh berdiri tegak dan menyatakan bahwa iman tidak pernah menjadi alasan untuk memperbudak sesama.
Kini, lebih dari empat abad telah berlalu. Dunia telah berubah, peta telah berganti, dan sejarah telah ditulis ulang oleh para pemenang. Namun jejak keberanian Aceh tetap abadi dalam lembaran yang tersembunyi. Di hari Kamis, 8 Mei 2025, Paus Leo XIV terpilih sebagai pemimpin baru Gereja Katolik, mungkin tak menyadari bahwa satu waktu dahulu, sebuah kesultanan adidaya dari Asia Tenggara pernah menolak legitimasi kekuasaan yang kini ia warisi.
Sikap Aceh kala itu bukanlah anti-Kristiani. Justru sebaliknya, ia adalah pembelaan terhadap nilai-nilai sejati dari agama manapun: keadilan, kebebasan, dan persaudaraan antarbangsa. Dalam dunia yang terbagi oleh kekuasaan agama dan keserakahan, Aceh menunjukkan wajah Islam yang kuat tapi lembut, tegas namun adil.
Di balik keberanian diplomatik itu, ada keindahan nilai yang terpendam. Kesultanan Aceh melihat bahwa mendukung kemerdekaan Belanda bukan hanya demi strategi maritim atau ekonomi. Itu adalah cermin dari keyakinan bahwa manusia, siapa pun dia, punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa tekanan dari gereja, istana, atau bangsa asing.
Delegasi Aceh ke Belanda bukan sekadar pengiriman utusan, tapi pelayaran kedaulatan dan keadilan. Di tengah ombak Lautan Hindia dan samudra Atlantik, mereka membawa doa dari masjid-masjid Aceh, harapan dari rakyatnya, dan pesan bagi dunia: bahwa dunia bisa lebih adil jika masing-masing menghargai kemerdekaan yang sejati. Meski sayangnya di awal abad ke-20, Belanda tak tahu diri mulai menjajah Aceh yang dulu menyapihnya.
Tengku Abdul Hamid, Mir Hasan, Laksamana Sri Muhammad—mereka bukan hanya diplomat, tapi pahlawan. Mereka menorehkan sejarah bukan dengan senjata, tapi dengan kata-kata yang penuh keyakinan dan keberanian. Mereka tahu, mereka sedang menantang tatanan dunia. Tapi mereka percaya, jika berdiri di sisi kebenaran, langit akan tetap melindungi mereka.
Kini, saat sejarah kembali menggeliat, dan dunia mempertanyakan ulang warisan kolonial dan keadilan global, kisah Aceh dan Belanda ini patut disuarakan kembali. Ini bukan soal nostalgia. Ini adalah pengingat bahwa dari tanah ini, dari Nusantara yang kita cintai, telah lahir suara yang menentang Paus bukan karena benci, tapi karena cinta kepada kemerdekaan.
Dan jika Paus Leo XIV membaca sejarah ini, semoga ia mengerti bahwa di antara reruntuhan imperium lama dan dogma-dogma usang, masih ada suara dari Timur yang dulu berani berkata: “Kami tidak takut, karena kami hanya tunduk pada Allah yang Maha Kuasa.”
Dibuat oleh AI, baca selanjutnya
No comments:
Post a Comment